Tuesday, May 14, 2013

Selena



“Arya! Kamu lama!” seru Selena sambil melambai-lambaikan tangan padaku. Ia tertawa di bawah sinar matahari yang menyinari tubuhnya yang putih. Memintaku untuk cepat mengejarnya yang sudah jauh dari pandanganku. Sebenarnya ia curang karena tidak membawa barang apapun di tangannya, tapi aku memilih untuk diam saja.
“Aryaaa!!!” Selena lagi-lagi memanggilku yang sudah kepayahan karena membawa beban berat.Aku berusaha untuk mengejarnya. Aku tidak mau kalau ia sampai lenyap dari pandanganku. Aku ingin selalu melihatnya, terus mengawasi sosoknya yang sangat mempesona.
Akhirnya aku bisa melihat Selena yang menunggu kedatanganku. Ia tersenyum senang saat melihatku. Ah, lagi-lagi ia berhasil menggodaku untuk terus menatapnya. Itu memang bukan salahnya karena terlahir secantik dewi matahari, tapi di dalam hati aku terus saja menyalahkannya karena dengan mudahnya ia telah mencuri hatiku.
“Selena…”
Selena berjalan mendekatiku. “Apa tasku aku bawa sendiri aja?” tanyanya polos.
“Jangan!” tolakku. Mana mungkin aku tega membiarkan gadis berperawakan kecil sepertinya membawa barang yang berat? Lebih baik aku hancur saja karena semua beban yang kubawa dari pada membiarkannya membawa itu semua.
“Mau istirahat aja?”
“Nggak usah, sebentar lagi sampe kan?”
Selena mengangguk. “Iya, sebentar lagi kok. Sabar ya…” ia mengambil saputangan putih dari saku bajunya dan mengelap keningku yang basah karena keringat.
Aku kembali berjalan. Kali ini Selena berjalan di sampingku. Ia terus menatapku dengan pandangan khawatir. Aku benar-benar menyukai matanya yang besar dan bulat itu. Seperti bulan purnama, selalu bersinar dalam kegelapan. Terus menyinari hatiku.
“Arya, berat ya?”
“Nggak,” ucapku. “Asalkan kamu di sisiku, semuanya terasa sangat ringan.”
Wajah Selena merona merah saat mendengar ucapanku. Ia benar-benar manis. Aku jadi teringat saat aku pertama kali bertemu dengannya, saat itu aku berada di rumah sakit karena terjatuh dari motor dan terluka parah. Aku hampir mati karena kecelakaan itu, tapi untung saja aku selamat. Walaupun aku tidak bisa menggunakan kakiku untuk berlari lagi…
***
Aku melihatnya dari jendela kamar rumah sakit. Namanya Selena, aku tahu itu dari sorang suster. Ia selalu membaca buku di bawah pohon, sepertinya ia juga seorang pasien.Aku juga tidak tahu kenapa, gadis berambut hitam panjang itu benar-benar menarik perhatianku. Bukan karena wajahnya yang sangat cantik, tapi karena bahasa tubuhnya yang terlihat sangat menarik. Saat membaca, ia terkadang tersenyum, tapi juga terkadang menangis. Aku ingin tahu apa yang di bacanya sampai-sampai ia bisa seperti itu.
Akhirnya sehari sebelum aku keluar dari rumah sakit, aku memberanikan diri untuk menyapanya. Selena berkata bahwa ia juga tahu kalau aku selalu memperhatikannya dari kejauhan. Aku sangat senang, tapi aku juga ingin ia tahu bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
Baru kali ini aku merasa seperti ini, ia seperti gadis yang memang sudah ditakdirkan untukku. Saat melihatnya, aku tidak pernah merasakan perasaan cinta yang menurutku serumit benang kusut. Ia begitu mempesona dan aku mencintainya secara tiba-tiba. Sesederhana itu.
Saat melihat sampul buku yang selalu di bacanya, aku sangat terkejut karena buku itu adalah buku yang ditulis saudara sepupuku, Marcell. Aku juga pernah membacanya, novel itu menceritakan seorang gadis yang hanya bisa bermimpi, tak pernah melihat kenyataan yang ada. Selena tersenyum saat aku membicarakan buku itu. Ia berkata, “Hiduplah dengan impian, karena mimpi bisa menciptakan keajaiban.”
Aku terdiam saat mendengar kata-katanya. Jujur, aku tak menyukai sifat tokoh utama dalam cerita itu yang selalu bermimpi. Mimpi yang tak akan pernah terkabul karena 7 hari lagi ia akan meninggalkan dunia.
Saat keluar dari rumah sakit, aku berjanji pada Selena akan sering menjenguknya. Aku tidak pernah berani bertanya apa penyakit yang di deritanya, tapi katanya sejak kecil ia sudah dirawat di rumah sakit.
Seiring waktu berlalu, menjenguknya sudah seperti sebuah kebiasaan. Setiap hari kulewati dengannya di rumah sakit. Mungkin aku dan dia memang tidak seperti pasangan yang selalu melewatkan malam minggu untuk berkencan, tapi aku cukup bahagia. Aku bahagia karena ada dirinya.
Kusadari ia telah menjadi bagian dari jiwaku. Setengah dari jiwaku yang telah lama hilang dan akhirnya kutemukan.
***
Tiba-tiba Selena menghentikan langkahnya. “Arya, makasih ya…”
“Untuk apa?” tanyaku bingung. Aku juga ikut berhenti berjalan. Saat Selena menghentikan langkahnya, entah kenapa aku merasa takut. Aku takut setiap langkahnya yang selalu mewarnai hariku itu akan hilang.
“Untuk semuanya,”
Aku tersenyum padanya. “Harusnya aku yang berterima kasih, Selena…” ucapku. “Karena kamu aku bisa terus melanjutkan hidupku.”
Selena, semua yang kukatakan itu tulus dari lubuk hatiku. Tak pernah sekalipun aku berbohong tentang bagaimana perasaanku padamu. Andai kau tahu bahwa hidupku seakan berakhir saat aku tak bisa berlari lagi. Impianku untuk menjadi pemain basket telah hancur berkeping-keping. Sejak itu aku tak ingin bermimpi lagi karena bila tak terkabul akan sangat menyakitkan.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku mengecup lembut keningnya. “kamu membuatku ingin bermimpi lagi, mimpi kita akan selalu bersama selamanya. Kamu akan menjadi pengantinku yang tercantik di dunia, dan kita akan punya banyak anak. Setelah itu aku tak butuh apa-apa lagi…” dan kalaupun hal itu hanya sebuah mimpi yang tak akan terkabul, tolong jangan bangunkan aku.
Tiba-tiba Selena memelukku. Aku membalas pelukannya dengan hati-hati. Aku selalu takut bila memeluknya, aku takut tubuhnya yang kecil akan hancur di pelukanku.
“Arya, aku mencintaimu…” kata Selena pelan.
“Jangan menangis,” aku tahu ia sedang menangis di pelukanku. Sakit sekali rasanya saat mengetahu hal itu. “Kamu tahu bagaimana perasaanku.”
“Cinta itu aneh ya?”
Benar, sangat aneh… aku menjawab di dalam hati.
“Bahkan walaupun aku sudah mati, cintaku padamu tak pernah berubah.” Selena melepas pelukannya. Tiba-tiba aku merasa tubuhku sangat berat. Barang yang ku bawa seakan-akan bertambah dan membuatku tak bisa menggerakkan tubuhku. Aku melihat sekelilingku, semuanya serba putih. Padahal Kenapa aku baru menyadari bahwa tidak ada apa-apa di sini?

“Sudah sampai, Arya...” ucapnya.
“Se..lena…”
Selena menatapku. Tatapannya sedih. “Arya, kamu tahu tentang novel yang kubaca saat aku pertama kali bertemu denganmu?” tanyanya.
Aku terdiam. Berusaha menggerakkan tubuhku yang seperti batu.“Sebenarnya impianku sama dengan mimpi gadis di cerita itu,” ia tersenyum. “Aku ingin hidup. Selamanya hidup denganmu…” lanjutnya.
Setetes air mata mulai jatuh di pipiku karena Selena makin menjauh. Aku mulai menangis. Tanganku tidak bisa lagi untuk menjangkaunya. Ia jauh sekali…
Kalau begitu bagaimana dengan mimpiku untuk bersama denganmu? Apa benar bila aku terus bermimpi akan ada keajaiban seperti yang kau katakan padaku dulu?
“Arya, udah pagi!”
Sinar matahari masuk melalui cela-cela jendela kamarku dan menyinari tubuhku yang tertidur. Perlahan-lahan mataku terbuka. Ah, lagi-lagi aku bermimpi. Mimpi tentang seorang gadis yang sangat kucintai...


0 comments:

Post a Comment