“Arya! Kamu lama!” seru Selena sambil melambai-lambaikan tangan padaku. Ia
tertawa di bawah sinar matahari yang menyinari tubuhnya yang putih. Memintaku
untuk cepat mengejarnya yang sudah jauh dari pandanganku. Sebenarnya ia curang
karena tidak membawa barang apapun di tangannya, tapi aku memilih untuk diam
saja.
“Aryaaa!!!” Selena lagi-lagi memanggilku
yang sudah kepayahan karena membawa beban berat.Aku berusaha untuk mengejarnya.
Aku tidak mau kalau ia sampai lenyap dari pandanganku. Aku ingin selalu
melihatnya, terus mengawasi sosoknya yang sangat mempesona.
Akhirnya aku bisa melihat Selena yang
menunggu kedatanganku. Ia tersenyum senang saat melihatku. Ah, lagi-lagi ia
berhasil menggodaku untuk terus menatapnya. Itu memang bukan salahnya karena
terlahir secantik dewi matahari, tapi di dalam hati aku terus saja
menyalahkannya karena dengan mudahnya ia telah mencuri hatiku.
“Selena…”
Selena berjalan mendekatiku. “Apa tasku aku
bawa sendiri aja?” tanyanya polos.
“Jangan!” tolakku. Mana mungkin aku tega
membiarkan gadis berperawakan kecil sepertinya membawa barang yang berat? Lebih
baik aku hancur saja karena semua beban yang kubawa dari pada membiarkannya
membawa itu semua.
“Mau istirahat aja?”
“Nggak usah, sebentar lagi sampe kan?”
Selena mengangguk. “Iya, sebentar lagi kok.
Sabar ya…” ia mengambil saputangan putih dari saku bajunya dan mengelap
keningku yang basah karena keringat.
Aku kembali berjalan. Kali ini Selena
berjalan di sampingku. Ia terus menatapku dengan pandangan khawatir. Aku
benar-benar menyukai matanya yang besar dan bulat itu. Seperti bulan purnama,
selalu bersinar dalam kegelapan. Terus menyinari hatiku.
“Arya, berat ya?”
“Nggak,” ucapku. “Asalkan kamu di sisiku,
semuanya terasa sangat ringan.”
Wajah Selena merona merah saat mendengar
ucapanku. Ia benar-benar manis. Aku jadi teringat saat aku pertama kali bertemu
dengannya, saat itu aku berada di rumah sakit karena terjatuh dari motor dan
terluka parah. Aku hampir mati karena kecelakaan itu, tapi untung saja aku selamat.
Walaupun aku tidak bisa menggunakan kakiku untuk berlari lagi…
***
Aku melihatnya dari jendela kamar rumah
sakit. Namanya Selena, aku tahu itu dari sorang suster. Ia selalu membaca buku
di bawah pohon, sepertinya ia juga seorang pasien.Aku juga tidak tahu kenapa,
gadis berambut hitam panjang itu benar-benar menarik perhatianku. Bukan karena
wajahnya yang sangat cantik, tapi karena bahasa tubuhnya yang terlihat sangat
menarik. Saat membaca, ia terkadang tersenyum, tapi juga terkadang menangis.
Aku ingin tahu apa yang di bacanya sampai-sampai ia bisa seperti itu.
Akhirnya sehari sebelum aku keluar dari
rumah sakit, aku memberanikan diri untuk menyapanya. Selena berkata bahwa ia
juga tahu kalau aku selalu memperhatikannya dari kejauhan. Aku sangat senang, tapi
aku juga ingin ia tahu bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
Baru kali ini aku merasa seperti ini, ia
seperti gadis yang memang sudah ditakdirkan untukku. Saat melihatnya, aku tidak
pernah merasakan perasaan cinta yang menurutku serumit benang kusut. Ia begitu
mempesona dan aku mencintainya secara tiba-tiba. Sesederhana itu.
Saat melihat sampul buku yang selalu di
bacanya, aku sangat terkejut karena buku itu adalah buku yang ditulis saudara
sepupuku, Marcell. Aku juga pernah membacanya, novel itu menceritakan seorang
gadis yang hanya bisa bermimpi, tak pernah melihat kenyataan yang ada. Selena
tersenyum saat aku membicarakan buku itu. Ia berkata, “Hiduplah dengan impian,
karena mimpi bisa menciptakan keajaiban.”
Aku terdiam saat mendengar kata-katanya. Jujur,
aku tak menyukai sifat tokoh utama dalam cerita itu yang selalu bermimpi. Mimpi
yang tak akan pernah terkabul karena 7 hari lagi ia akan meninggalkan dunia.
Saat keluar dari rumah sakit, aku berjanji
pada Selena akan sering menjenguknya. Aku tidak pernah berani bertanya apa
penyakit yang di deritanya, tapi katanya sejak kecil ia sudah dirawat di rumah
sakit.
Seiring waktu berlalu, menjenguknya sudah
seperti sebuah kebiasaan. Setiap hari kulewati dengannya di rumah sakit.
Mungkin aku dan dia memang tidak seperti pasangan yang selalu melewatkan malam
minggu untuk berkencan, tapi aku cukup bahagia. Aku bahagia karena ada dirinya.
Kusadari ia telah menjadi bagian dari
jiwaku. Setengah dari jiwaku yang telah lama hilang dan akhirnya kutemukan.
***
Tiba-tiba Selena menghentikan langkahnya.
“Arya, makasih ya…”
“Untuk apa?” tanyaku bingung. Aku juga ikut
berhenti berjalan. Saat Selena menghentikan langkahnya, entah kenapa aku merasa
takut. Aku takut setiap langkahnya yang selalu mewarnai hariku itu akan hilang.
“Untuk semuanya,”
Aku tersenyum padanya. “Harusnya aku yang
berterima kasih, Selena…” ucapku. “Karena kamu aku bisa terus melanjutkan
hidupku.”
Selena, semua yang kukatakan itu tulus dari
lubuk hatiku. Tak pernah sekalipun aku berbohong tentang bagaimana perasaanku
padamu. Andai kau tahu bahwa hidupku seakan berakhir saat aku tak bisa berlari
lagi. Impianku untuk menjadi pemain basket telah hancur berkeping-keping. Sejak
itu aku tak ingin bermimpi lagi karena bila tak terkabul akan sangat
menyakitkan.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku mengecup lembut keningnya. “kamu
membuatku ingin bermimpi lagi, mimpi kita akan selalu bersama selamanya. Kamu
akan menjadi pengantinku yang tercantik di dunia, dan kita akan punya banyak
anak. Setelah itu aku tak butuh apa-apa lagi…” dan kalaupun hal itu hanya
sebuah mimpi yang tak akan terkabul, tolong jangan bangunkan aku.
Tiba-tiba Selena memelukku. Aku membalas
pelukannya dengan hati-hati. Aku selalu takut bila memeluknya, aku takut
tubuhnya yang kecil akan hancur di pelukanku.
“Arya, aku mencintaimu…” kata Selena pelan.
“Jangan menangis,” aku tahu ia sedang
menangis di pelukanku. Sakit sekali rasanya saat mengetahu hal itu. “Kamu tahu
bagaimana perasaanku.”
“Cinta itu aneh ya?”
Benar, sangat aneh… aku menjawab di dalam
hati.
“Bahkan walaupun aku sudah mati, cintaku
padamu tak pernah berubah.” Selena melepas pelukannya. Tiba-tiba aku merasa
tubuhku sangat berat. Barang yang ku bawa seakan-akan bertambah dan membuatku
tak bisa menggerakkan tubuhku. Aku melihat sekelilingku, semuanya serba putih.
Padahal Kenapa aku baru menyadari bahwa tidak ada apa-apa di sini?
“Sudah sampai, Arya...” ucapnya.
“Se..lena…”
Selena menatapku. Tatapannya sedih. “Arya,
kamu tahu tentang novel yang kubaca saat aku pertama kali bertemu denganmu?”
tanyanya.
Aku terdiam. Berusaha menggerakkan tubuhku
yang seperti batu.“Sebenarnya impianku sama dengan mimpi gadis di cerita itu,”
ia tersenyum. “Aku ingin hidup. Selamanya hidup denganmu…” lanjutnya.
Setetes air mata mulai jatuh di pipiku
karena Selena makin menjauh. Aku mulai menangis. Tanganku tidak bisa lagi untuk
menjangkaunya. Ia jauh sekali…
Kalau begitu bagaimana dengan mimpiku untuk
bersama denganmu? Apa benar bila aku terus bermimpi akan ada keajaiban seperti
yang kau katakan padaku dulu?
“Arya, udah pagi!”
Sinar matahari masuk melalui cela-cela
jendela kamarku dan menyinari tubuhku yang tertidur. Perlahan-lahan mataku
terbuka. Ah, lagi-lagi aku bermimpi. Mimpi tentang seorang gadis yang sangat
kucintai...
“Arya! Kamu lama!” seru Selena sambil melambai-lambaikan tangan padaku. Ia tertawa di bawah sinar matahari yang menyinari tubuhnya yang putih. Memintaku untuk cepat mengejarnya yang sudah jauh dari pandanganku. Sebenarnya ia curang karena tidak membawa barang apapun di tangannya, tapi aku memilih untuk diam saja.
“Aryaaa!!!” Selena lagi-lagi memanggilku
yang sudah kepayahan karena membawa beban berat.Aku berusaha untuk mengejarnya.
Aku tidak mau kalau ia sampai lenyap dari pandanganku. Aku ingin selalu
melihatnya, terus mengawasi sosoknya yang sangat mempesona.
Akhirnya aku bisa melihat Selena yang
menunggu kedatanganku. Ia tersenyum senang saat melihatku. Ah, lagi-lagi ia
berhasil menggodaku untuk terus menatapnya. Itu memang bukan salahnya karena
terlahir secantik dewi matahari, tapi di dalam hati aku terus saja
menyalahkannya karena dengan mudahnya ia telah mencuri hatiku.
“Selena…”
Selena berjalan mendekatiku. “Apa tasku aku
bawa sendiri aja?” tanyanya polos.
“Jangan!” tolakku. Mana mungkin aku tega
membiarkan gadis berperawakan kecil sepertinya membawa barang yang berat? Lebih
baik aku hancur saja karena semua beban yang kubawa dari pada membiarkannya
membawa itu semua.
“Mau istirahat aja?”
“Nggak usah, sebentar lagi sampe kan?”
Selena mengangguk. “Iya, sebentar lagi kok.
Sabar ya…” ia mengambil saputangan putih dari saku bajunya dan mengelap
keningku yang basah karena keringat.
Aku kembali berjalan. Kali ini Selena
berjalan di sampingku. Ia terus menatapku dengan pandangan khawatir. Aku
benar-benar menyukai matanya yang besar dan bulat itu. Seperti bulan purnama,
selalu bersinar dalam kegelapan. Terus menyinari hatiku.
“Arya, berat ya?”
“Nggak,” ucapku. “Asalkan kamu di sisiku,
semuanya terasa sangat ringan.”
Wajah Selena merona merah saat mendengar
ucapanku. Ia benar-benar manis. Aku jadi teringat saat aku pertama kali bertemu
dengannya, saat itu aku berada di rumah sakit karena terjatuh dari motor dan
terluka parah. Aku hampir mati karena kecelakaan itu, tapi untung saja aku selamat.
Walaupun aku tidak bisa menggunakan kakiku untuk berlari lagi…
***
Aku melihatnya dari jendela kamar rumah
sakit. Namanya Selena, aku tahu itu dari sorang suster. Ia selalu membaca buku
di bawah pohon, sepertinya ia juga seorang pasien.Aku juga tidak tahu kenapa,
gadis berambut hitam panjang itu benar-benar menarik perhatianku. Bukan karena
wajahnya yang sangat cantik, tapi karena bahasa tubuhnya yang terlihat sangat
menarik. Saat membaca, ia terkadang tersenyum, tapi juga terkadang menangis.
Aku ingin tahu apa yang di bacanya sampai-sampai ia bisa seperti itu.
Akhirnya sehari sebelum aku keluar dari
rumah sakit, aku memberanikan diri untuk menyapanya. Selena berkata bahwa ia
juga tahu kalau aku selalu memperhatikannya dari kejauhan. Aku sangat senang, tapi
aku juga ingin ia tahu bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
Baru kali ini aku merasa seperti ini, ia
seperti gadis yang memang sudah ditakdirkan untukku. Saat melihatnya, aku tidak
pernah merasakan perasaan cinta yang menurutku serumit benang kusut. Ia begitu
mempesona dan aku mencintainya secara tiba-tiba. Sesederhana itu.
Saat melihat sampul buku yang selalu di
bacanya, aku sangat terkejut karena buku itu adalah buku yang ditulis saudara
sepupuku, Marcell. Aku juga pernah membacanya, novel itu menceritakan seorang
gadis yang hanya bisa bermimpi, tak pernah melihat kenyataan yang ada. Selena
tersenyum saat aku membicarakan buku itu. Ia berkata, “Hiduplah dengan impian,
karena mimpi bisa menciptakan keajaiban.”
Aku terdiam saat mendengar kata-katanya. Jujur,
aku tak menyukai sifat tokoh utama dalam cerita itu yang selalu bermimpi. Mimpi
yang tak akan pernah terkabul karena 7 hari lagi ia akan meninggalkan dunia.
Saat keluar dari rumah sakit, aku berjanji
pada Selena akan sering menjenguknya. Aku tidak pernah berani bertanya apa
penyakit yang di deritanya, tapi katanya sejak kecil ia sudah dirawat di rumah
sakit.
Seiring waktu berlalu, menjenguknya sudah
seperti sebuah kebiasaan. Setiap hari kulewati dengannya di rumah sakit.
Mungkin aku dan dia memang tidak seperti pasangan yang selalu melewatkan malam
minggu untuk berkencan, tapi aku cukup bahagia. Aku bahagia karena ada dirinya.
Kusadari ia telah menjadi bagian dari
jiwaku. Setengah dari jiwaku yang telah lama hilang dan akhirnya kutemukan.
***
Tiba-tiba Selena menghentikan langkahnya.
“Arya, makasih ya…”
“Untuk apa?” tanyaku bingung. Aku juga ikut
berhenti berjalan. Saat Selena menghentikan langkahnya, entah kenapa aku merasa
takut. Aku takut setiap langkahnya yang selalu mewarnai hariku itu akan hilang.
“Untuk semuanya,”
Aku tersenyum padanya. “Harusnya aku yang
berterima kasih, Selena…” ucapku. “Karena kamu aku bisa terus melanjutkan
hidupku.”
Selena, semua yang kukatakan itu tulus dari
lubuk hatiku. Tak pernah sekalipun aku berbohong tentang bagaimana perasaanku
padamu. Andai kau tahu bahwa hidupku seakan berakhir saat aku tak bisa berlari
lagi. Impianku untuk menjadi pemain basket telah hancur berkeping-keping. Sejak
itu aku tak ingin bermimpi lagi karena bila tak terkabul akan sangat
menyakitkan.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku mengecup lembut keningnya. “kamu
membuatku ingin bermimpi lagi, mimpi kita akan selalu bersama selamanya. Kamu
akan menjadi pengantinku yang tercantik di dunia, dan kita akan punya banyak
anak. Setelah itu aku tak butuh apa-apa lagi…” dan kalaupun hal itu hanya
sebuah mimpi yang tak akan terkabul, tolong jangan bangunkan aku.
Tiba-tiba Selena memelukku. Aku membalas
pelukannya dengan hati-hati. Aku selalu takut bila memeluknya, aku takut
tubuhnya yang kecil akan hancur di pelukanku.
“Arya, aku mencintaimu…” kata Selena pelan.
“Jangan menangis,” aku tahu ia sedang
menangis di pelukanku. Sakit sekali rasanya saat mengetahu hal itu. “Kamu tahu
bagaimana perasaanku.”
“Cinta itu aneh ya?”
Benar, sangat aneh… aku menjawab di dalam
hati.
“Bahkan walaupun aku sudah mati, cintaku
padamu tak pernah berubah.” Selena melepas pelukannya. Tiba-tiba aku merasa
tubuhku sangat berat. Barang yang ku bawa seakan-akan bertambah dan membuatku
tak bisa menggerakkan tubuhku. Aku melihat sekelilingku, semuanya serba putih.
Padahal Kenapa aku baru menyadari bahwa tidak ada apa-apa di sini?
“Sudah sampai, Arya...” ucapnya.
“Se..lena…”
Selena menatapku. Tatapannya sedih. “Arya,
kamu tahu tentang novel yang kubaca saat aku pertama kali bertemu denganmu?”
tanyanya.
Aku terdiam. Berusaha menggerakkan tubuhku
yang seperti batu.“Sebenarnya impianku sama dengan mimpi gadis di cerita itu,”
ia tersenyum. “Aku ingin hidup. Selamanya hidup denganmu…” lanjutnya.
Setetes air mata mulai jatuh di pipiku
karena Selena makin menjauh. Aku mulai menangis. Tanganku tidak bisa lagi untuk
menjangkaunya. Ia jauh sekali…
Kalau begitu bagaimana dengan mimpiku untuk
bersama denganmu? Apa benar bila aku terus bermimpi akan ada keajaiban seperti
yang kau katakan padaku dulu?
“Arya, udah pagi!”
Sinar matahari masuk melalui cela-cela
jendela kamarku dan menyinari tubuhku yang tertidur. Perlahan-lahan mataku
terbuka. Ah, lagi-lagi aku bermimpi. Mimpi tentang seorang gadis yang sangat
kucintai...
0 comments:
Post a Comment